Sego Berkat, Kuliner Hits di Masa PPKM.

Sego Berkat ini tak sengaja kutemukan di suatu kedai sederhana di Jogja tak jauh dari kawasan Malioboro. Di depan kedai itu terlihat sebakul daun jati lebar tertumpuk agak banyak. Meja di sebelahnya dipenuhi sajian lauk pauk ala masakan rumahan.

Sepintas, Sego Berkat ini mirip dengan nasi rames atau nasi langgi. Arti Sego Berkat sendiri adalah nasi disertai lauk pauk lengkap yang dibagikan kepada tetangga atau kerabat saat ada hajatan keluarga pada masyarakat Jawa Tengah.

Saat ini lazimnya Sego Berkat sudah dikemas dengan lebih cantik menggunakan besek bambu atau kardus tetapi Sego Berkat tradisional masih menggunakan daun pisang atau daun jati untuk membungkus makanan.

 

Beruntung hari itu aku masih bisa mendapat Sego Berkat versi tradisional dengan pilihan lauk yang cukup beragam. Ada bihun goreng, oseng tempe, balado kentang dan srundeng sebagai menu utamanya dan ada tambahan menu pilihan lauk seperti tahu bacem, tempe bacem, telur pindang, Yang menarik perhatianku adalah menu tambahan istimewa dengan empal, babat dan iso. Sebungkus Sego Berkat dapat kita beli dengan harga mulai Rp 5.000 hingga Rp 20.000 tergantung pilihan lauknya. Rasanya cukup murah dan mengenyangkan. Pengalamanku mencicip Sego Berkat menyisakan ingatan nasinya habis duluan karena lauknya terlalu banyak.

Di Masa PPKM ini, Sego Berkat terbilang laris sebagai pilihan menu karena tidak memerlukan layanan makan di tempat. Orang membeli Sego Berkat karena pilihan lauk yang sudah lengkap dalam satu bungkus dan keunikan daun jati sebagai pembungkus. Bahkan beberapa penjual bakso dan mie jawa yang kutemui sementara beralih berjualan Sego Berkat. Mereka merasa lebih praktis karena tidak memerlukan perlengkapan mangkok dan sendok yang harus dicuci, bebersih tempat saat tutup lapak dan mematuhi anjuran pemerintah yang melarang makan ditempat apalagi berkerumun saat berjualan.

Tak ayal, pandemi ini telah mengubah hidup dan meruntuhkan ekonomi. Para pelaku usaha berusaha keras memutar otak untuk bertahan. Salah satu fenomena adalah menggantinya dengan berjualan makanan matang atau bahan makanan. Sebagian dari masyarakat kita meyakini bahwa berjualan kebutuhan pokok pangan pasti akan selalu dibutuhkan dan menghasilkan rupiah dengan cepat. Harian Jogja melaporkan pada September 2020 seorang pengusaha camilan stik growol di Kulon Progo bernama Sri Puji Astuti yang bisnisnya anjlok signifikan akhirnya berjualan Sego Berkat untuk menyelamatkan bisnis camilan sebelumnya. Selain itu, Sri juga melihat peluang trend masyarakat yang mulai menyukai makanan tradisional.

Bisnis Sego Berkat ini juga sudah bisa ditemui pada layanan Go Food dan Grab Food di berbagai kota. Tak perlu jauh-jauh memesan dari Wonosari, Pacitan ataupun Wonogiri mungkin saja kuliner ini sudah bisa ditemui di kota anda sebagai obat rindu saat bertandang pulang ke kampung halaman. Seperti diberitakan pula oleh detik food,  mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang acapkali menyempatkan membeli Sego Berkat dalam jumlah banyak saat berkunjung ke Wonosari ataupun pulang kampung ke Pacitan.

Minggu lalu aku memesan Sego Berkat ini agak banyak untuk menyediakan makan siang para tenaga kesehatan. Mereka cukup antusias menerima bungkusan daun jati yang cukup besar dan rapih diikat dengan serat bambu. Nuansa tradisional berpadu dengan cita rasa kekinian membuat Sego Berkat ini disukai banyak kalangan. Dari anak muda hingga orangtua menggemarinya. Tertarik mencoba?

 

 

 

 

 

10 thoughts on “Sego Berkat, Kuliner Hits di Masa PPKM.

  1. Ella Fitria says:

    Wah kalau lihat bungkusan nasi pakai daun jati gini jadi kangen rumah Mbah di Gunungkidul. Sayang di tempatku sekarang jarang ada bungkusan nasi gini, biasanya kalau nasi gini dibungkus pakai kertas minyak atau box gt. Lain lagi kl sego berkat di tempatku biasanya pakai ‘cething’. Hhh

  2. Diah Alsa says:

    pasti rasanya sedap ya ini, makanan yang dibungkus dengan daun itu selalunya punya cita rasa yang khas dan berbeda kelezatannya 🙂

    jadi ingin ikut coba juga secara lauknya beragam gitu ya 😀

    • admin says:

      Iyaa yaaa, kadang suka bandingin harga di tengah kota dan agak pinggir Jogja aja udah beda…masa pandemi ini aku yang berasa banget karena sebagai anak nongkrong mendadak banyak jualan yang tutup atau ngga boleh makan ditenpat.

  3. Sandra Hamidah says:

    Aku kurang tertarik kak, entah kenapa aku lebih suka makanan yang ambil sendiri atau dibungkus biasa kayak nasi padang. Mungkin soal selera n budaya aja ya, emang daun jati ramah lingkungan tapi pengalamanku dulu tiap liat nasi sego, nasi kucing, nasi jamblang kok daunnya ga ijo bersih gt kayak daun tua dan kotor haha makanya aku mending makan d piring aja lah..

    • admin says:

      Biasanya di lapisan dalampun masih ditumpuk kertas makan. Sego Berkat ini bisa juga disantap menggunakan piring di kedainya tetapi khasnya kalau dibungkus ala tradisional memang memekai daun jati. Iyaa kak, selera khan emang hak personal. Thank you yaa kak Sandra…

  4. Nurhilmiyah says:

    Kreatif ya Mbak, para pengusaha kuliner bertahan hidup dengan menjual sego berkat. Keputusan yang memerlukan fleksibilitas ya. Selain rasanya enak, kemasannya yang masih tradisional pastinya lebih disukai karena tidak menjaga cita rasa segonya ya. Nice info Mbak Sherly, terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *